Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

Jumat, 06 April 2012

Politik Harga BBM


Pada masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, telah terjadi dua kali pencabutan subsidi BBM. Yang pertama adalah tanggal 1 Maret 2006 dan yang kedua dilakukan pada 1 Oktober 2006. Kebijakan pencabutan Subsidi BBM ini sebenarnya merupakan kebijakan yng bersifat inkramental. Sudah dilakukan sejak tahun 1998, dalam rangka memperbaiki kinerja anggaran, efisiensi dan menyesuaikan dengan harga minyak dunia, pencabutan subsidi BBM dilakukan.
Dalam hal ini Pembangunan Pemerintah memakai strategi efficiency oriented policies of market competition, yaitu strategi yang menekankan pada pentingnya efisiensi, pro pasar bebas, pro globalisasi, dan peran negara yang kecil. Tunduk pada kekuatan pasar energi global yang memiliki kecenderungan harga yang terus meningkat. Hal ini menjadi berbeda dengan orientasi pembangunan yang dinyatakan oleh Pemeritah SBY-JK pada masa kampanyenya yang pro poor atau menurut Susan Stoke security oriented policies of state intervention, dimana pemerintah seharusnya melakukan proteksi harga untuk kepentingan nasional.
Saat pencabutan BBM terjadi, pemerintah dihadapkan pada situasi krisis anggaran di satu sisi dan di sisi lain naiknya harga minyak dunia. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh Meriless S. Gridle dan John W. Thomas, Dalam situasi krisis, persoalan kerapkali berasal dari luar pengambil kebijakan (nasional dan internasional), dalam sistuasi nasional dihadapkan pada keterbatasan anggaran, serta prioritas pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan dan program pembangunan lain . Sedang persoalan internasional terkait dengan harga pasar energi global yang naik dan memiliki kecendrungan untuk tetap naik serta terikatnya dengan LOI IMF sebagai negara yang menggunakan utang luar negeri untuk pembangunan negara. Salah satu butir perjanjian mengharuskan pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga minyak nasional dengan harga minyak dunia
Kebijakan Pencabutan Subsidi BBM era Yudhoyono menjadi fenomenal karena baru pertama kalinya sebuah kebijakan didukung oleh sejumlah intelektual, profesional, dan aktivis serta mengiklankannya pada media cetak satu halaman penuh. Hal ini juga menjadi baru ketika pemerintah mengaitkan langsung penarikan subsidi BBM dengan program pengentasan kemiskinan secara terang-terangan. Iklan yang dibuat oleh Freedom Institute atas penelitian yang dilakukan oleh LPEM-FEUI bahwa subsidi BBM lebih menguntungkan mereka yang relatif mampu, dan yang paling miskin justru kurang menikamatinya sehingga dengan pencabutan subsidi dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah dalam hal ini, sejalan dengan kebijakan penghapusan subsidi, karena pemerintah melihat bahwa selama ini hanya menguntungkan mereka yang relatif kaya daripada kaum miskin.
Pemerintah membuat kebijakan dengan melakukan subsidi terarah, yang salah satunya adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai) untukjangka pendek, P3 (Program Pengembangan Prasarana) untuk jangka menengah, dan PAP (Peningkatan Anggaran Pemerintah) untuk pembangunan ekonomi jangka panjang.
Dengan skenario ini Pemerintah mengaitkan pencabutan subsidi BBM dalam rangka pengentasan kemiskinan. Sehingga kondisi ini adalah kondisi yang paling optimal untuk pendapatan kaum miskin menurut perhitungan yang juga dinyatakan oleh Kepala Bappenas Sri Mulyani dan disertasi Djoko Harianto. Perlu diakui argumen yang dilakukan pemerintah dengan perhitungan ekonomi ini sangat logis (masuk akal) . Dalam kenyataannya, kebijakan ini menimbulkann polemik di masyarakat dan kaum intelektual. Sebagian kalangan seperti Ekonom TIB (Tim Indonesia Bangkit), Ahli pertambangan dari Pertamina Kurtubi, Effendi Gazali, hingga Prof. Sri Edi menentang kebijakan kenaikan BBM yang dilakukan Pemerintah. Kebijakan ini dinilai oleh mereka justru menciptakan kemiskinan baru. Kenaikan harga BBM secara psikologis membawa dampak kenaikan pada barang-barang dan jasa akibatnya daya beli masyarakat menjadi rendah, serta menciptakan pengangguran baru.
Dari sini banyak relawan yang bisa dilihat adalah kebijakan pemerintah yang hanya berdasarkan perhitungan ekonomi secara teoritis tanpa memperhitungkan dampak psikologi masyarakat serta daya tahan masyarakat akan membawa akibat kebijakan ini tidak membawa kesejahteraan masyarakat melainkan menimbulkan dampak yang negatif yakni meningkatnya jumlah kemiskinan di masyarakat. Target pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan dengan kebijakan ini tidak tercapai. Efisiensi yang terjadi tidak signifikan, bahkan ketersediaan bahan bakar terutama minyak tanah pada bulan Desember tidak tercukupi. Kini minyak tanah langka lagi dan rakyat kecil harus membeli dengan harga yang lebih tinggi dari apa yang ditetapkan.

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar